Selasa, 15 November 2011

MALAIKAT KECILKU

      Aku bisa merasakan istriku cemberut di belakang punggungku. Tangis Sindu mereda dan ia menghapus air mata dengan tangannya, lalu berkata, “Boleh, Ayah. Akan aku makan curd rice ini. Tidak hanya beberapa sendok, semua akan aku habiskan. Tapi, aku akan minta….,” agak ragu-ragu sejenak, ”akan minta sesuatu sama ayah bila semua nasinya habis. Apakah ayah mau berjanji memenuhi permintaanku?”
      Aku menjawab, “0h, pasti, Sayang.”
      Sindu bertanya sekali lagi, “Betul?”
“Ya pasti,” jawabku sambil menggenggam tangan anakku yang lembut sebagai tanda setuju.
      Sindu juga mendesak ibunya untuk berjanji hal yang sama. Istriku menepuk tangan sindu yang merengek sambil berkata tanpa emosi.
      “Janji,” kata istriku.
      Aku sedikit khawatir, lalu aku berkata, “Sindu jangan minta computer atau barang-barang lain yang mahal, ya. Karena ayah saat ini tidak punya uang.”
      “Jangan khawatir, Sindu tidak minta barang-barang mahal, kok,” ujarnya.
      Kemudian, dengan perlahan-lahan, dan kelihatan sangat menderita, Sindu menghabiskan semua nasi asam itu. Dalam hatiku, aku marah sama istriku dan ibuku yang memaksa sindu untuk makan sesuatu yang tidak disukainya.
      Setelah Sindu melewati penderitaannya, dia mendekatiku dengan mata penuh harapan, dan semua perhatian (aku, istriku, dan juga ibuku)  tertuju kepadanya. Ternyata, Sindu mau kepalanya digundulin/dibotakkin pada hari Minggu.
      Istriku spontan berkata, “permintaan gila. Anak perempuan dibotakin? Tidak mungkin!”
      Ibuku juga menggerutu, “Jangan terjadi dalam keluarga kita. Dia terlalu banyak menonton TV, dan program-program TV itu sudah merusak kebudayaan kita.”
      Aku mencoba membujuk, “Sindu, kenapa kamu tidak minta hal yang lain? Kami semua akan sedih melihatmu botak.”
      Tapi, Sindu tetap dengan pilihannya. “tidak ada, Yah. Tak ada keinginan lain,” kata sindu.
      Aku mencoba memohon kepada Sindu, “Tolonglah, kenapa kamu tidak mencoba untuk mengerti perasaan kami.”
      Dengan menangis, Sindu berkata, “ayah sudah melihat bagaimana menderitanya saya menghabiskan nasi susu asam itu, dan ayah sudah berjanji untuk memenuhi permintaan saya. Kenapa ayah sekarang mau menjilat ludah sendiri? Bukannya ayah sudah mengajarkan pelajaran moral bahwa kita harus memenuhi janji kita terhadap seseorang, apa pun yang terjadi, seperti Raja Harishchandra (raja India zaman dahulu kala), untuk memenuhi janjinya, ia rela memberikan tahta, harta/kekuasaannya, bahkan nyawa anaknya sendiri?”
      Sekarang, aku memutuskan untuk memenuhi permintaan anakku: janji kita harus ditepati. Secara serentak, istri Dan ibuku berkata, “Apakah kau sudah gila?”
      “Tidak,” jawabku, “kalau kita minjilat ludah kita sendiri, dia tidak akan pernah belajar bagaimana menghargai dirinya sendiri. Sindu, permintaanmu akan kami penuhi”
      Dengan kepala botak, wajah Sindu tampak bundar dengan matanya yang besar dan bagus. Pada hari Senin, aku mengantarkannya kesekolah. Sekilas, aku melihat Sindu botak berjalan kekelasnya dan melambaikan tangan kepadaku. Sambil tersenyum, aku membalas lambaian tangannya.
      Tiba-tiba, seorang anak laki-laki keluar dari mobilnya sambil berteriak, “Sindu, tolong tunggu saya.”
      Yang mengejutkan adalah ternyata kepala anak laki-laki itu pun botak. Aku berfikir mungkin “botak” adalah model rambut jaman sekarang.
      Tanpa memperkenalkan dirinya, seorang wanita yang baru saja keluar dari sebuah mobil berkata “Anak Anda, Sindu, bener-bener hebat. Anak laki-laki yang jalan bersama-sama dia sekarang adalah anak saya, Harish namanya. Dia menderita kanker leukemia.”
      Wanita itu berhenti sejenak, menangis tersedu-sedu, lalu ia berkata, “Bulan lalu Harish tidak masuk sekolah. Karena pengobatan chemo therapy, kepalanya menjadi botak. Jadi, dia tidak mau pergi kesekolah sebab takut diejek oleh teman-teman sekelasnya. Nah Minggu lalu, Sindu datang kerumah dan berjanji kepada anak saya untuk mengatasi ejekan yang mungkin terjadi. Hanya saja, saya betul-betul tidak menyangka kalau sindu mau mengorbankan rambutnya yang indah untuk anakku, harish. Anda dan istri anda sungguh diberkahi tuhan dengan mempunyai anak perempuan yang berhati mulia.”
      Aku berlari terpaku sambil menangis.
      “Malaikat kecilku, tolong ajarkan aku tentang kasih,” gumanku dalam hati.


-Sebaiknya, kita tidak terburu-buru dalam menilai sesuatu sebelum kita tahu masalah yang sesungguhnya. Dan, jangan ragu untuk berkorban bagi orang lain, selama itu dilakukan demi kebaikan.-

Add caption

Tidak ada komentar:

Posting Komentar